Lima Legacy Paus Fransiskus bagi Gerakan Oikumene

Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam pernyataan dukacita atas wafatnya Paus Fransiskus antara lain menyatakan bahwa Paus Fransiskus dikenal sebagai figur yang menolak kemewahan, tetapi memilih untuk memeluk kemiskinan Yesus. Ia menolak menjadi pangeran gerejawi, tetapi menjadi sahabat para migran, pelindung bumi yang terluka, dan advokat tanpa pamrih bagi perdamaian global—termasuk bagi negeri-negeri seperti Indonesia yang ia puji sebagai teladan kerukunan antaragama. Pernyataan ini selain ungkapan belarasa sekaligus pengakuan dan apresiasi kepada sosok teladan bagi semua umat Kristiani dan segenap manusia di dunia ini.

Paus Fransiskus telah meninggalkan kita semua. Pada perayaan Paskah kedua, 21 April 2025 dalam usia 88 tahun Paus asal Argentina Amerika Latin ini secara ragawi telah berpulang, walau semangat dan keteladanannya selalu hidup, bukan saja di hati umat Katolik tetapi umat manusia apapun agamanya, bahkan bagi yang tidak beragama sekalipun.

Berikut lima legacy yang dapat dibagikan diantara sekian banyak warisan bagi kemanusiaan-ekologis, termasuk bagi arak-arakan gerakan oikumene di Indonesia.

Pertama, kesederhanaan. Semua orang pasti sepakat bahwa secara personal Paus Fransiskus adalah figur yang sederhana dalam penampilan fisik, dalam kata-kata dan tindakan. Kesederhanaan itu ia lakoni dan hidupi tentu berpolakan Yesus Kristus sang Gembala Agung. Paus Fransiskus memberi sentuhan kesederhanaan ditengah jebakan godaan materialisme, hedonisme dan gaya hidup glamor. Ini selaras dengan salah satu spirit gerakan oikumene gereja-gereja di Indonesia, yakni ugahari. Di tengah rayuan kerakusan dan ketamakan gereja-gereja diundang untuk mempraktekan gaya hidup sederhana, jauh dari bermewah-mewahan. Ini tentu tidak mudah. Sebagian orang pesimis bahkan sinis dengan gerakan ugahari. Namun gereja tanpa kesederhanaan bukanlah gereja.

Kedua, keberpihakan kepada kaum miskin. Di dunia ini orang miskin selalu ada padamu, kata Yesus dari Nazareth. Kemiskinan dan keragaman agama adalah dua hal yang sangat nyata di Asia kata Aloysius Pieris. Gereja-gereja terus berjuang mengatasi masalah kemiskinan ini, sambil terus memegang teguh kata-kata Yesus, di antaranya, kamu harus memberi mereka makan. Kemiskinan terjadi secara struktural maupun kultural. Di lain sisi, ada segelintir orang yang makin kaya. Kemiskinan menimbulkan penderitaan lahir bathin. Paus Fransiskus hadir dalam keberpihakannya kepada mereka yang lemah dan miskin. Ia memberi inspirasi dan teladan bagi dunia untuk berjuang bersama mereka yang miskin papa. Hingga wafatnya, kemiskinan masih dan dan tetap ada. Kita terpanggil untuk meneruskan perjuangannya untuk bersama-sama mengatasi kemiskinan.

Ketiga, kepedulian kepada masa depan bumi. Ancaman kiamat ekologi membutuhkan pertobatan ekologis. Laudato Si (2015) dan Laudato Deum (2023) adalah sebuah ensiklik Paus Fransiskus yang menegaskan kepedulian, kosistensi dan persistensi Paus dalam memulihkan bumi sebagai rumah bersama. Kepedulian dan perjuangan untuk mengatasi krisis lingkungan global tentu bukan slogan semata. Gereja-gereja di Indonesia bahkan seluruh dunia secara simultan menyampaikan suara profetik tentang urgensi penyelamatan bumi. Berbagai materi pembinaan warga gereja, ajaran gereja dan pendidikan gereja diarahkan untuk menjemaatkan pemahaman dan tindakan menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Pada sisi lain, krisis lingkungan global makin massif diantaranya karena eksplorasi dan eksploitasi tambang dan penebangan hutan. Gereja-gereja tertantang untuk tidak lelah dan jenuh mengembangkan teologi yang pro lingkungan hidup serta agenda-agenda advokasi lingkungan yang sistematis dan berkelanjutan.

Keempat, perdamaian abadi. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Kata-kata Yesus ini tentu menginspirasi dan memotivasi Paus Fransiksus, yang datang dari kongregasi Serikat Yesus (SJ) untuk terus mengupayakan perdamaian global. Sehari menjelang wafatnya, pada homili Paskahnya ia masih menyerukan perdamaian di Gaza Timur Tengah. Sebelumnya ia mengajak semua umat manusia untuk tidak terlibat perang, utamanya Urkania-Rusia. Ia juga mengajak perdamaian antar-agama. Deklarasi Abu Dhabi (2019), lawatan ke Indonesia yang menghasilkan Deklarasi Istiqlal (2024), ensiklik Fratelli Tutti (2020), meneguhkan spirit persaudaraan dan perdamaian sejati yang perlu terus dihidupi dan dirawat umat manusia di planet ini. Gereja-gereja di Indonesia dalam arak-arakan gerakan oikumene terpanggil untuk tetap dan terus memperjuangkan dan menghadirkan damai di semua aras, utamanya pada keluarga (ekklesia domestica).

Kelima, Gembala berbau domba. Paus Fransiskus tidak hanya berkata-kata, ia menunjukan teladan seorang gembala. Gembala yang hadir di tengah-tengah dombanya. Ia membasuh kaki para imigran, memeluk anak-anak disabilitas, ia hadir di tengan himpunan massa, ia memeluk mereka yang terluka. Presensia. Ia hadir langsung, turun ke bawah. Dalam 12 tahun masa kepausannya ia mengunjungi banyak negara, ia menjangkau mereka yang di pinggiran. Ia peka dan peduli. Visi Sinodalitas (berjalan bersama) yang digemakannya adalah tanda gembala yang peduli domba. Ia tidak terjebak dalam klerikalisme, ia merangkul kaum awam. Tak ayal ada yang dengan sinis menyebutkan Luther Katolik. Semua itu ia lakoni dalam penghayatan sungguh-sungguh teladan Kristus sebagai Gembala yang Baik. Bagaimana dengan kita?

Hari ini, Sabtu 26 April 2025 di Basilika Santa Anna Maggiore di Roma, jasad Paus Fransiskus dimakamkan. Ia pergi berjumpa Bapa Sorgawi. Ia tinggalkan teladan bagi kita semua, bagi gereja-gereja, bagi agama-agama, bagi umat manusia dan semesta. “Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13). Ad Maiorem Dei Gloriam ! (RR)

Scroll to Top