"Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."
Seringkali, ketika gereja menyusun Rencana Strategis (Renstra), kita terjebak dalam sebuah ironi. Kita menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menciptakan sebuah dokumen yang kita anggap sempurna, sebuah "peta" yang detail untuk lima atau sepuluh tahun ke depan. Namun, begitu peta itu dicetak, dunia di sekitar kita—dengan disrupsi digital, krisis ekonomi, dan pergeseran budaya—terus bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga. Peta yang kita banggakan itu dengan cepat menjadi "peta kuno", sebuah dokumen mati yang tidak lagi relevan dengan medan pelayanan yang sesungguhnya.
Di sinilah firman Tuhan dalam Roma 12:2 menjadi peringatan sekaligus solusi yang relevan. "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini," tulis Paulus. Dalam konteks perencanaan, "serupa dengan dunia" bisa berarti mengadopsi cara berpikir yang kaku, birokratis, dan statis, yang percaya bahwa masa depan dapat diprediksi dan dikontrol sepenuhnya oleh rencana kita. Kita menjadi serupa dengan "dunia" korporasi yang mengandalkan cetak biru yang tidak bisa diubah.
Namun, Paulus menawarkan jalan lain: "...berubahlah oleh pembaharuan budimu." Ini adalah inti dari transformasi. Ini adalah panggilan untuk menjadi gereja yang gesit dan adaptif. Transformasi gereja tidak dimulai dari program baru atau gedung baru; ia dimulai dari "pembaharuan budi" (Bahasa Yunani: anakainōsis tou noos), sebuah perombakan total cara kita berpikir.
Sejarah Reformasi sendiri adalah contoh utama dari agilitas (kegesitan) yang didasarkan pada Firman.
Para Reformator seperti Martin Luther atau Yohanes Calvin tidak memulai dengan Renstra 5-10 tahun untuk memisahkan diri dari Roma. Mereka merespon krisis di depan mata (penjualan indulgensi, korupsi teologis) dengan kembali secara radikal kepada Alkitab. Tindakan mereka—menerjemahkan Alkitab ke bahasa rakyat, menyesuaikan liturgi, menciptakan struktur konsistori di Jenewa untuk mengadaptasi pelayanan ke kebutuhan kota—adalah tindakan-tindakan gesit yang lahir dari "budi yang diperbarui" oleh Firman.
Sebuah gereja yang "Reformed" bukanlah gereja yang membeku di abad ke-16, melainkan gereja yang telah mewarisi semangat semper reformanda itu. Semangat ini membebaskan kita. Doktrin Sola Gratia (Hanya oleh Anugerah) melepaskan kita dari ketakutan akan kegagalan. Rencana kita tidak harus sempurna karena keselamatan kita tidak bergantung padanya; keselamatan kita bergantung pada Kristus. Anugerah ini memberi kita keberanian untuk beradaptasi, bereksperimen, dan bahkan "gagal" dalam menjalankan misi, karena kita tahu identitas kita aman di dalam Kristus.
Proses penyusunan Renstra seharusnya bukan lagi sekadar latihan administratif untuk membuat "peta", melainkan harus menjadi sebuah proses rohani untuk "pembaharuan budi". Kita harus berani mengganti mentalitas "peta mati" dengan mentalitas "GPS Pelayanan". Apa bedanya? Peta memberi tahu Anda rute yang sudah ditentukan. GPS yang hidup, di sisi lain, memahami tujuan akhir (visi kita yang abadi: Missio Dei), tetapi ia terus-menerus memindai lingkungan, mencari jalan yang tersumbat, dan secara dinamis "mengkalkulasi ulang rute" untuk mencapai tujuan itu dengan cara yang paling efektif.
Peta memberi tahu Anda rute yang sudah ditentukan. GPS yang hidup, di sisi lain, memahami tujuan akhir, tetapi ia terus-menerus memindai lingkungan, mencari jalan yang tersumbat, dan secara dinamis "mengkalkulasi ulang rute" untuk mencapai tujuan itu dengan cara yang paling efektif.
Tujuan dari pembaharuan budi ini, seperti kata Paulus, adalah "sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah." Renstra yang gesit bukanlah tentang memaksakan kehendak kita kepada Tuhan untuk lima tahun ke depan. Sebaliknya, itu adalah tentang menciptakan proses dan struktur yang memungkinkan kita untuk terus-menerus mendengarkan dan "membedakan" ke mana Roh Kudus memimpin kita hari ini.
Semangat ini ditegaskan di banyak bagian Alkitab. Yesus sendiri memperingatkan kita dalam Matius 9:17, "Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong kulit yang baru pula." Rencana strategis yang kaku dan kuno adalah "kantong kulit yang lama". Ia tidak akan sanggup menampung karya Roh Kudus yang baru, dinamis, dan seringkali mengubahkan. Sebuah gereja yang adaptif adalah gereja yang secara konsisten mempersiapkan "kantong kulit yang baru".
Kita juga melihat prinsip gesit ini dalam pelayanan Rasul Paulus. Dalam Kisah Para Rasul 16:6-7, Paulus memiliki rencana strategisnya sendiri untuk menginjili di Asia dan Bitinia. Namun, Alkitab mencatat, "Roh Kudus mencegah mereka." Paulus harus beradaptasi. Rencananya "diganggu" oleh pimpinan Roh, yang mengarahkannya ke Makedonia. Inilah gereja yang gesit: sebuah gereja yang rencananya cukup fleksibel untuk memberi ruang bagi interupsi ilahi.
Jika Renstra kita tidak memiliki ruang untuk "kalkulasi ulang" oleh Roh Kudus, maka kita bukan lagi mengikuti kehendak Allah, melainkan sekadar menjalankan program. Mari kita masuki setiap proses perencanaan, bukan untuk menciptakan rencana yang sempurna di atas kertas, tetapi untuk memperbarui budi kita bersama-sama, sehingga kita menjadi jemaat yang mampu membedakan—dan dengan berani mengikuti—pimpinan Tuhan yang hidup di dunia yang terus berubah.
Jika Renstra kita tidak memiliki ruang untuk "kalkulasi ulang" oleh Roh Kudus, maka kita bukan lagi mengikuti kehendak Allah, melainkan sekadar menjalankan program
Elya G. Muskitta, Elya Muskitta, Renungan Online, Sinode Am GPI, Gereja Bersaudara
GEREJA YANG GESIT: Dari Peta Mati Menjadi GPS yang Hidup