Nas: "Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia"
Keluarga adalah tempat kita berlatih menjadi manusia. Itu juga berarti, keluarga adalah tempat di mana kita paling sering bertemu dengan "kebodohan"—baik kebodohan kita sendiri maupun kebodohan anggota keluarga kita.
Dalam kitab Amsal, "bebal" bukanlah soal rendahnya IQ. "Bebal" adalah soal karakter: orang yang keras kepala, tidak mau mendengar nasihat, egois, dan bertindak tanpa integritas.
Amsal 26 memberi kita dua ayat yang tampak bertentangan (ayat 4 dan 5), yang justru menjadi panduan luar biasa bagi kehidupan keluarga, terutama dalam hal integritas dan kekudusan.
1. "Jangan Jawab" (Ayat 4): Menjaga Kekudusan Diri
"Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia."
Ayat ini adalah tentang menjaga integritas dan kekudusan diri.
Dalam rumah tangga, kita sering tergoda untuk "melayani" kebodohan. Saat pasangan sedang marah-marah tidak jelas (bebal), kita ikut marah-marah. Saat anak remaja kita membanting pintu, kita ikut membanting pintu lebih keras. Saat ada yang mulai berbohong atau memanipulasi, kita ikut membalas dengan manipulasi.
Tuhan berkata: "Jangan."
Mengapa? Karena saat Anda membalas kebodohan dengan kebodohan, Anda menjadi sama. Anda kehilangan kekudusan Anda. Integritas Anda luntur.
Dalam konteks pernikahan, ini adalah rem darurat. Saat pertengkaran sudah "turun level" menjadi saling menghina atau mengungkit masa lalu, ini saatnya menerapkan ayat 4. Diamlah. Bukan untuk kalah, tapi untuk menjaga kekudusan pernikahan agar tidak ternoda oleh kata-kata bodoh yang tidak bisa ditarik kembali.
Aplikasi: Saat emosi memuncak dan percakapan menjadi tidak sehat, berhentilah. Jangan terpancing ikut "bebal". Inilah cara Anda menjaga Kekudusan Diri.
2. "Jawablah" (Ayat 5): Menegakkan Akuntabilitas
"Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya ia jangan menganggap dirinya bijak."
Ayat ini adalah tentang akuntabilitas dalam kerjasama.
Jika ayat 4 adalah tentang kapan harus diam, ayat 5 adalah tentang kapan harus bicara. Ini bukan tentang balas dendam, tapi tentang konfrontasi yang bijak untuk meluruskan apa yang bengkok.
Dalam keluarga, kita adalah tim. Jika satu anggota tim (suami, istri, atau anak) bertindak di luar integritas—misalnya berbohong tentang keuangan, malas bekerja sama mengurus rumah, atau tidak jujur—dan kita hanya diam (mengira sedang menerapkan ayat 4), maka si "bebal" akan merasa "bijak". Dia akan merasa tindakannya benar dan bisa diterima.
Menjawab menurut kebodohannya berarti menunjukkan konsekuensi logis dari tindakannya.
- "Kamu bilang kamu akan A, tapi kamu lakukan B. Itu merusak kepercayaan kita. Bagaimana kita akan perbaiki ini?"
- "Jika kamu tidak ikut berkontribusi dalam tugas rumah, maka kita semua akan hidup dalam kekacauan. Itu tidak adil."
Ini adalah akuntabilitas. Kita tidak membiarkan kebohongan, kemalasan, atau ketidakjujuran dianggap normal. Kita "menjawab" kebodohan itu dengan kebenaran dan batas yang tegas, agar kekudusan dan integritas keluarga sebagai tim tetap terjaga.
Aplikasi: Saat integritas dilanggar, jangan didiamkan hingga menjadi kanker. Bicarakan dengan tegas dan kasih. Inilah cara Anda menjaga Akuntabilitas dalam Kerjasama dan Kekudusan Pernikahan.
💡 Kesimpulan: Hikmat untuk Membedakan
Bagaimana kita tahu kapan harus memakai ayat 4 (diam) dan kapan ayat 5 (bicara)?
Kuncinya ada di motivasi:
- Ayat 4 (Diam): Saat motivasi kita adalah EGO, ingin menang, atau balas dendam.
- Ayat 5 (Bicara): Saat motivasi kita adalah KASIH, ingin memulihkan, dan menegakkan kebenaran.
Integritas, akuntabilitas, dan kekudusan dalam keluarga tidak dijaga dengan cara diam selamanya atau ribut selamanya. Ia dijaga oleh hikmat untuk tahu kapan harus diam demi kekudusan diri, dan kapan harus bicara demi kekudusan bersama.
🙏 Doa Penutup
Tuhan, berikan kami hikmat yang dari pada-Mu. Ajari kami kapan harus diam agar kami tidak menjadi "sama" dengan kebodohan, dan kapan harus bicara dengan kasih untuk menegakkan kebenaran di dalam rumah kami. Mampukan kami untuk bekerjasama dengan integritas penuh dan menjaga kekudusan pernikahan kami dari segala hal yang dapat merusaknya. Amin.
Renungan Online, Sinode Am GPI, Elya G. Muskitta, Elya Muskitta
Seni Menanggapi Kebodohan