Gereja dan Demokrasi di Tengah Krisis Kebenaran: Membaca Ulang Panggilan Moral Gereja di Era Post-Truth dan Polarisasi Politik

Oleh: Jeirry Sumampow, S.Th, Anggota Komisi Germasa GPI & Tim Kerja Seminar.

KITA hidup di era yang bukan hanya kompleks secara sosial dan politik, tapi juga rentan secara moral dan kebenaran. Demokrasi yang dulu dipuja sebagai sistem terbaik untuk keadilan dan kebebasan, kini justru berada di titik terendah. Di tengah euforia pemilu, kebebasan berbicara, dan pesatnya teknologi digital, demokrasi kita terjebak dalam paradoksnya sendiri: suara rakyat sering dibentuk oleh manipulasi, bukan kesadaran kritis; fakta dikaburkan oleh emosi; dan pemimpin dipilih bukan karena integritas, melainkan daya tarik viral.

Dalam situasi yang semakin membingungkan ini, peran gereja kembali dipertanyakan: apakah gereja hanya akan jadi penonton pasif atas kemerosotan ini, atau justru menjadi penyaksi yang berani menyuarakan kebenaran di tengah hiruk pikuk zaman?

Gagasan ini mengemuka kuat dalam Seminar Sehari Pra-Sidang Sinode Am (SSA) GPI XX 2025 di Manado, tanggal 21 Juli 2025. Seminar Sehari ini dilaksanakan oleh Tim Kerja yang dibentuk oleh BPH Majelis Sinode GPI dalam rangka menyambut SSA GPI XX yang dilaksanakan di Jemaat Imanuel Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Gagasan ini dielaborasi secara mendalam oleh 3 narasumber, yaitu; Dr. Ferry Daud Liando (Dekan Fisip Unsrat), Dr. Denni Pinontoan (Akademisi IAKN), dan Pdt. Dr. Liesye Sumampouw-Pangkey (Mantan Ketua Umum GPI). Ketiganya, dari sudut pandang yang berbeda namun saling melengkapi, menantang gereja untuk melihat kembali hakikat keberadaannya di tengah krisis demokrasi dan era post-truth.

Demokrasi yang Terluka dan Gereja yang Tersingkir

Dr. Ferry Daud Liando memulai dengan mengingatkan kita pada kegelisahan filsuf Plato terhadap demokrasi sejak lama. Menurut Plato, sebagaimana dikemukakan Liando, suara mayoritas bisa saja keliru, bahkan merusak, jika tidak dibingkai oleh etika dan rasionalitas. Hari ini, kekhawatiran itu menjadi nyata. Demokrasi Indonesia, meski berjalan sesuai prosedur, sering kali melupakan substansinya. Ia menjadi panggung para elite, tempat manipulasi opini berlangsung sistematis, dan arena di mana kebenaran digantikan oleh suara terbanyak yang belum tentu bermoral.

Dalam situasi ini, gereja menghadapi tiga tantangan utama. Pertama, gereja sebagai minoritas sering kehilangan ruang untuk menyuarakan nilai-nilai Injil dalam arus politik mayoritarian. Kedua, perpecahan internal antar gereja membuat suara profetik kehilangan daya gaung dan pengaruh yang kuat di hadapan publik. Dan ketiga, gereja kerap terjebak dalam politisasi, digunakan sebagai kendaraan kekuasaan, dan kehilangan identitas moralnya. Gereja yang seharusnya menjadi penjaga nurani masyarakat justru bisa berubah menjadi bagian dari mesin propaganda politik yang tidak etis.

Zaman Post-Truth: Kebenaran yang Terkikis

Lebih jauh lagi, Pdt. Dr. Liesye Sumampouw menggambarkan dunia kontemporer sebagai “belantara post-truth“, di mana kebenaran bukan lagi produk dari pencarian rasional atau spiritual, tetapi hasil dari kontestasi emosi, opini pribadi, dan algoritma digital. Dalam dunia seperti ini, kebohongan bisa berlari lebih cepat dari kebenaran. Bahkan gereja -yang seharusnya menjadi benteng kebenaran- tak luput dari ancaman disinformasi, manipulasi narasi, dan kebingungan internal.

Pertanyaannya, apakah gereja masih mampu menjadi penyaring nilai dan penjaga integritas di tengah banjir informasi dan kaburnya batas antara fakta dan opini?

Pdt. Liesye menantang gereja untuk “berkaca”, bukan hanya pada dunia luar, tetapi juga pada dirinya sendiri. Sebab, sebelum menyuarakan kebenaran, gereja harus terlebih dahulu menjadi ruang yang mempraktikkan keterbukaan, evaluasi diri, dan keberanian moral. Gereja harus menjadi ruang kritis yang mampu membedakan mana Injil dan mana propaganda, mana suara Allah dan mana gema algoritma.

Eklesiologi Profetik: Politik Kerajaan Allah

Lebih lanjut, Denni H.R. Pinontoan menyuarakan panggilan gereja untuk kembali kepada spiritualitas kenabian. Baginya, demokrasi bukan hanya soal sistem politik, tapi soal etika publik, dan ketika etika ini rusak, gereja tidak boleh tinggal diam. Gereja harus menjadi komunitas profetik, yang menghadirkan “Politik Kerajaan Allah, yakni; tata hidup yang berlandaskan keadilan, kasih, dan solidaritas dengan mereka yang tertindas.

Di tengah banalitas politik dan kebusukan sistemik, gereja harus hadir dengan daya gugah moral yang kuat. Mimbar gereja harus kembali menjadi ruang nubuat dan suara profetik, bukan sekadar tempat khotbah rutin. Liturgi harus menjadi tindakan politis yang membela kemanusiaan. Dan gereja harus berdiri di sisi mereka yang tidak punya suara dalam sistem demokrasi yang bias.

Ini bukan soal gereja menjadi partai politik, tetapi gereja menjadi suara yang menggugat ketika demokrasi menjadi kosong dari nilai. Dalam semangat Yesus yang membalikkan meja pedagang di bait Allah, gereja harus berani menolak kompromi dengan kekuasaan yang menindas.

Menjadi Komunitas Moral di Tengah Kekacauan

Apa artinya semua ini bagi gereja masa kini? Artinya, gereja harus kembali menjadi komunitas moral yang hidup, bukan sekadar lembaga keagamaan yang mapan. Gereja harus:

  • Membangun budaya internal yang demokratis dan terbuka, di mana keputusan tidak didominasi oleh segelintir elite, tetapi mendengar suara semua anggota jemaat.
  • Menjadi ruang literasi digital dan etika publik, membentuk umat yang kritis terhadap informasi, mampu mengenali hoaks, dan tidak mudah dibelokkan oleh narasi politik manipulatif.
  • Merebut kembali mimbar dan liturgi sebagai media penyadaran publik, bukan hanya perenungan pribadi.
  • Membangun aliansi solidaritas dengan komunitas-komunitas marjinal, dan menjadi sahabat perjuangan mereka, bukan hanya pelayan dari kejauhan.

Akhirnya: Menjaga Kebenaran, Menjaga Demokrasi

Di era ketika kebohongan dipoles menjadi kebenaran, dan kekuasaan lebih dipercaya daripada integritas, gereja harus kembali menjadi rumah bagi kebenaran yang jujur dan terang. Gereja harus berani menjadi tidak populer, jika memang itulah harga dari mempertahankan nilai-nilai Injil Kristus.

Demokrasi tanpa gereja yang bernubuat akan kehilangan daya moralnya. Dan gereja tanpa keberanian untuk bersuara akan kehilangan jiwanya. Maka inilah saatnya gereja membaca ulang panggilan kenabiannya: menjadi suara yang membebaskan, menjadi lentera dalam kegelapan, dan menjadi tubuh Kristus yang hadir di tengah dunia, bukan untuk menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi untuk mentransformasikannya. Sebab, hanya ketika gereja berani menyuarakan kebenaran, maka demokrasi bisa kembali bernapas.

Manado, 23 Juli 2025



di dalam Travel
Masuk untuk meninggalkan komentar