DUNIA bergerak begitu cepat, sampai-sampai kita sering tak sadar kalau perubahan juga menyelinap ke ruang-ruang spiritual kita. Dulu, gereja mungkin hanya diidentikkan dengan bangunan fisik, mimbar khotbah, dan nyanyian jemaat. Tapi kini, seiring derasnya arus digitalisasi, Gereja Protestan di Indonesia (GPI) melalui Seminar Pra-Sidang Sinode Am ke-20 menyadari satu hal penting: gereja tak bisa lagi berdiri di tempat yang sama.
Pertemuan yang berlangsung pada 21 Juli 2025 di Manado ini menjadi semacam “lonceng peringatan” bagi gereja. Dengan tema besar “Gereja dalam Gejolak Zaman: Oikoumene, Digitalisasi, dan Masa Depan Demokrasi,” Sidang Sinode Am GPI XX yang berlanjut di Talaud ini menyoroti satu konsep yang mungkin terdengar asing, tapi sejatinya sangat relevan: gereja phygital.
Phygital Itu Apa Sih?
Bayangkan begini: kita hidup di dua dunia sekaligus. Satu dunia yang bisa kita sentuh, kita lihat secara langsung (fisik), dan satu lagi dunia yang ada di balik layar gawai kita (digital). Nah, gereja phygital adalah gereja yang hidup di dua dunia itu secara bersamaan. Dulu, Alkitab fisik mungkin selalu di tangan, tapi sekarang? Gadget jauh lebih sering digenggam. TikTok dan YouTube lebih sering dibuka daripada hadir di persekutuan jemaat. Ironis, bukan?
Elya Muskitta, seorang praktisi pelayanan digital, dengan jeli menggambarkan realitas ini. Generasi muda kini mencari “kebisingan digital” di YouTube, podcast, dan media sosial sebagai sumber makna hidup mereka. Mereka datang ke gereja secara fisik, tapi pikiran mereka melayang di dunia maya. Pertanyaannya: masihkah gereja relevan bagi mereka? Jawabannya, menurut seminar ini, adalah “ya” jika gereja berani bertransformasi. Bukan mengubah iman atau ajaran, tapi mengubah cara gereja hadir, berkomunikasi, dan bersaksi.
Hati-hati, Hoaks Bisa Jadi “Pendeta Baru”!
Lebih mengkhawatirkan lagi, Dr. Rewindinar, pakar komunikasi digital, mengingatkan bahwa ruang digital tak selalu netral. Hoaks, algoritma, dan konten manipulatif sudah menjadi “pengkhotbah” baru yang diam-diam memengaruhi umat. Riset menunjukkan, hoaks bisa menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran. Kenapa? Karena hoaks bermain di ranah emosi. Algoritma media sosial juga lebih “suka” kontroversi daripada kebenaran. Dalam situasi seperti ini, gereja tidak boleh diam!
Gereja, kata Rewindinar, perlu menjadi “tim vaksin digital.” Artinya, gereja harus menjadi benteng edukasi media dan spiritualitas. Membekali umat dengan literasi digital, kemampuan mengecek informasi, dan membedakan mana inspirasi rohani, mana manipulasi konten. Ini krusial!
Koinonia, Marturia, Diakonia di Dunia Maya
Jika dunia sudah tidak lagi terbagi antara online dan offline, maka panggilan teologis gereja pun harus diterjemahkan ke ranah digital. Muskitta memaparkan tiga pilar pelayanan digital yang perlu digarap serius:
- Koinonia Digital: Membangun persekutuan yang otentik di dunia maya. Bukan sekadar “like” atau emoji, tapi relasi yang sungguh hidup dan mendalam.
- Marturia Digital: Menyaksikan Injil dengan bahasa yang dipahami generasi digital. Lewat konten yang cerdas, kreatif, dan menyentuh.
- Diakonia Digital: Melayani kebutuhan nyata melalui media digital. Misalnya, advokasi online, konseling daring, atau penggalangan solidaritas sosial digital.
- Ini bukan untuk menggantikan gereja fisik, tapi justru melengkapi dan memperluas jangkauan misi gereja.
Mulai dari Talaud
Menariknya, Sidang Sinode Am GPI XX diadakan di Kabupaten Kepulauan Talaud. Sebuah daerah perbatasan yang terpencil, tapi punya makna teologis yang dalam. Di satu sisi, Talaud menegaskan bahwa gereja harus tetap hadir secara fisik di tengah masyarakat yang sering terlupakan. Di sisi lain, dari sinilah justru gereja bisa mulai membangun visi phygital. Artinya, pelayanan yang menjangkau dunia digital, tanpa melupakan akar komunitas lokal.
Namun, transformasi menjadi gereja phygital bukanlah soal ikut-ikutan tren. Ini soal menjawab panggilan zaman. Gereja tidak boleh hanya ada di gedung ibadah, tapi juga di mana umat menghabiskan waktunya: ruang digital.
Menyongsong Masa Depan Gereja yang Relevan
Sudah saatnya gereja berhenti melihat digitalisasi sebagai ancaman. Sebaliknya, mari kita peluk dengan kritis dan kreatif. Digitalisasi bukan pengganti kehidupan rohani, tapi perpanjangan tangan Injil di zaman baru.
Gereja yang ingin terus hidup dan bermakna harus siap menjadi gereja yang bersifat fisik sekaligus digital: hadir secara nyata, tapi juga menjangkau dunia virtual. Kuat dalam komunitas lokal, tapi juga fasih dalam bahasa global. Gereja phygital adalah gereja yang bergerak, berubah, dan tetap berakar. Gereja seperti inilah yang pantas menyambut masa depan.
Manado, 24 Juli 2025
Oleh: Jeirry Sumampow, S.Th, Komisi Germasa GPI & Tim Kerja Seminar.
Gereja Phygital: Saatnya Gereja Berdampingan dengan Era Digital