PADA Senin, 21 Juli 2025 lalu, Manado menjadi saksi bisu sebuah momen penting bagi Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Bertempat di Aula Kantor Walikota Manado, diselenggarakanlah Seminar Sehari Pra-Sidang Sinode Am GPI XX. Acara ini bukan sekadar pemanasan jelang Sidang Sinode Am di Kabupaten Kepulauan Talaud pada 24–27 Juli 2025, melainkan sebuah ajang refleksi mendalam tentang tema besar yang diusung: “Gereja dalam Gejolak Zaman: Oikoumene, Digitalisasi, dan Masa Depan Demokrasi.” Dari sekian banyak pembahasan, ada satu isu krusial yang menusuk hati dan patut kita renungkan bersama: persoalan kesatuan gereja di tengah relasi oikoumenis yang terasa “kering.”
Ketika Oikoumene Kehilangan “Rasa”
Kita semua tahu, gereja-gereja di Indonesia itu bagai mozaik. Beragam tradisi, sejarah, dan letak geografis menjadi warna-warninya. Indah, bukan? Tapi sayangnya, di balik keberagaman itu, seringkali terselip relasi yang justru terasa jauh, bahkan kompetitif. Pdt. Darwin Darmawan, Sekretaris Umum PGI, dengan lugas menyentil gereja dalam sesi seminar tersebut. Beliau bilang, oikoumene yang semestinya berlandaskan kasih dan kesetaraan, justru sering berubah menjadi hubungan asimetris, mirip pola “patron-klien.” Gereja-gereja besar di kota metropolitan seolah menjadi “patron” bagi gereja-gereja di wilayah timur atau perbatasan, seperti yang ada di Kepulauan Talaud.
Ketimpangan ini, sadar atau tidak, telah menggerus semangat kesatuan yang diimpikan Tata Dasar PGI. Persekutuan ekumenis kita kadang hanya sebatas agenda seremonial, proyek musiman, atau sekadar basa-basi. Hilang sudah ikatan spiritual yang seharusnya hidup dan setara. Gereja-gereja seolah hidup dalam isolasi, sibuk dengan urusannya sendiri, lupa bahwa kita adalah satu tubuh Kristus. Miris, bukan?
Kembali ke Akar: Spiritualitas Persahabatan
Melihat kenyataan ini, Pdt. Darwin tak tinggal diam. Beliau menawarkan sebuah solusi yang tak hanya teologis, tapi juga sangat manusiawi: oikoumene berbasis persahabatan. Mari kita sejenak merenung pada perkataan Yesus dalam Yohanes 15:15: “Aku menyebut kamu sahabat.” Ini bukan sekadar ucapan manis, melainkan sebuah model relasi yang berakar pada kesetaraan, pengorbanan, dan saling percaya.
Persahabatan, menurut Pdt. Darwin, jauh melampaui kerja sama teknis. Ia adalah relasi spiritual yang lahir dari keterbukaan hati, kesediaan untuk menunjukkan kerapuhan, dan niat tulus untuk saling menopang tanpa ada niat mendominasi. Para pemikir teologi seperti Henri Nouwen, Joas Adiprasetya, dan Paul T. Nimmo pun menegaskan hal ini: bahwa perjalanan bersama dan kehadiran yang saling mendengarkan adalah kunci membangun relasi sejati.
Dengan kacamata persahabatan, relasi oikoumenis tidak lagi berkutat pada siapa yang memberi dan siapa yang menerima, siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Paradigma ini mengajak kita sadar bahwa setiap gereja adalah sahabat dalam Kristus, yang masing-masing membawa kekayaan dan pergumulannya sendiri. Tak ada yang perlu merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Kita setara.
Talaud: Titik Balik Oikoumene Sejati
Pemilihan Kabupaten Kepulauan Talaud sebagai lokasi Sidang Sinode Am GPI XX bukanlah kebetulan. Talaud, yang terletak di ujung utara Indonesia berbatasan langsung dengan Filipina, bukan sekadar simbol geografis. Ia adalah representasi dari “pinggiran” pelayanan, bahkan mungkin “pengabaian struktural” dalam relasi antar gereja.
Melaksanakan SSA di Talaud adalah sebuah pernyataan teologis yang kuat: bahwa pinggiran adalah pusat perhatian gereja. Namun, ini akan menjadi simbol kosong belaka jika tidak disertai komitmen nyata untuk membangun relasi yang setara dan bermartabat dengan gereja-gereja yang selama ini bergumul dalam keterbatasan.
Dengan mengusung pendekatan persahabatan, GPI sedang memulai sebuah pembalikan arah yang penting. Dari relasi dominatif menuju relasi partisipatif; dari kerja sama institusional yang kaku menuju persekutuan spiritual yang hidup; dari hubungan strategis yang penuh perhitungan menuju hubungan sahabat yang tulus.
Kasih dari Pinggiran
Persahabatan adalah wujud kasih yang paling manusiawi sekaligus paling ilahi. Dalam konteks gereja, persahabatan menuntut kita untuk terbuka, jujur, dan mau saling belajar. Tidak ada gereja yang berhak menggurui, dan tidak ada yang perlu merasa mengemis. Semua berjalan bersama, sebagai kawan seperjalanan dalam Kristus, yang saling menanggung beban dan saling memperkaya pelayanan.
Kini, tugas kita bersama adalah menjadikan oikoumene persahabatan sebagai “roh” dalam setiap perjumpaan, setiap sinode, dan setiap kerja sama pelayanan. Ini bukan sekadar pendekatan baru, melainkan sebuah panggilan untuk “pertobatan kolektif”, kembali kepada inti panggilan gereja: hidup dalam kasih yang setara.
Dan percayalah, dari tempat seperti Talaud -yang mungkin selama ini kita anggap pinggiran- semangat oikoumene sejati itu bisa dikobarkan kembali. Ia akan membakar relasi gereja-gereja di Indonesia dengan nyala kasih yang tulus dan setara, menghidupkan kembali persekutuan yang sempat kering, dan membawa kita semua pada kesatuan yang sesungguhnya.
Manado, 23 Juli 2025
Oleh: Jeirry Sumampow, S.Th, Komisi Germasa GPI & Tim Kerja Seminar.
Oikoumene Persahabatan: Mengubah Persekutuan Gereja yang Kering Menjadi Hidup