UJILAH SEGALA SESUATU DAN PEGANGLAH YANG BAIK

(Catatan Reflektif atas Tema & Sub-Tema SSA GPI XX 2025)

Di tengah gegap gempita teknologi, gempuran hoaks, dan derasnya arus perubahan sosial-politik, Gereja Protestan di Indonesia (GPI) memilih tema yang sangat relevan dalam Sidang Sinode Am (SSA) Ke-20 di Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, 24–27 Juli 2025: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21). Tema ini tidak hanya mengingatkan gereja untuk tetap kritis, tapi juga mengajak kita semua untuk tetap berpijak pada nilai-nilai yang kokoh, di tengah dunia yang terus berubah.

Sub-temanya pun sangat menggugah: “Ketahanan Sosial Gereja di Era Disrupsi: Menyelaraskan Nilai Kebenaran dan Respon Adaptif terhadap Dinamika Ekonomi dan Teknologi.” Ini semacam pernyataan sikap bahwa gereja tidak bisa sekadar menjadi penonton perubahan zaman, tapi harus hadir sebagai aktor yang berperan aktif dalam menavigasi masyarakat menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan beradab.

Sebagai persekutuan yang terdiri dari 12 Gereja Bagian Mandiri (GBM), sebagian besar berada di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), GPI punya beban ganda: melayani umat sekaligus memperjuangkan keadilan sosial dalam konteks yang tidak mudah. Maka, seruan untuk “menguji segala sesuatu” menjadi penting bukan hanya secara teologis, tapi juga secara praksis.

Menyelami Makna 1 Tesalonika 5:21

Ayat ini lahir dari konteks komunitas Kristen awal yang sedang berjuang memahami mana yang benar di tengah ajaran dan pengaruh yang beragam. Paulus tidak menganjurkan penolakan otomatis terhadap hal-hal baru, tapi justru mengajak umat untuk berpikir kritis dan menilai. Setelah diuji, baru “peganglah yang baik.”

Menurut teolog N.T. Wright (2020), nasihat ini mencerminkan spiritualitas yang dewasa; iman yang tidak hanya mengandalkan perasaan atau tradisi, tapi juga nalar dan hikmat. Gereja di era sekarang sangat membutuhkan spiritualitas semacam ini: terbuka tapi tidak naïf, adaptif tapi tetap teguh pada prinsip.

Dalam konteks kita hari ini, ayat ini bisa dimaknai sebagai ajakan untuk tidak gegabah dalam menyikapi perubahan. Jangan langsung menolak hal baru hanya karena terasa asing, tapi juga jangan menelannya mentah-mentah. Ini soal kebijaksanaan, soal menimbang mana yang sesuai dengan nilai-nilai injil dan mana yang hanya mengikuti tren sesaat.

Krisis Kebenaran dan Peran Gereja

Harus kita sadari baha kini kita hidup di zaman di mana kebenaran sering dikaburkan oleh opini dan emosi. Istilah “post-truth” menjadi sangat relevan. Lee McIntyre (2018) dalam bukunya Post-Truth menyebut bahwa fakta kini sering dikalahkan oleh perasaan subjektif. Hal ini menjadikan ruang publik penuh dengan klaim kebenaran tanpa dasar, dan sayangnya, banyak orang terjebak di dalamnya.

Di sinilah gereja mesti hadir sebagai komunitas yang merawat kebenaran. Bukan kebenaran versi kelompok, tapi kebenaran yang membebaskan dan membawa damai. Gereja harus mengajarkan umat untuk berpikir kritis, mengecek sumber informasi, dan mengedepankan dialog daripada debat kusir.

Lebih dari itu, gereja perlu menjadi ruang yang aman untuk diskusi yang sehat, tempat orang bisa berbeda pendapat tanpa takut dicap nyawur dan sesat. Di tengah masyarakat yang kian terpolarisasi, gereja bisa menjadi jembatan, bukan tembok.

Tantangan Teknologi dan Adaptasi yang Bijak

Kehadiran teknologi digital mempercepat segala hal. Namun, tidak semua orang bisa mengikutinya. Di banyak wilayah GBM anggota GPI, internet masih sulit diakses, listrik belum stabil, dan literasi digital masih rendah. Ini menjadi tantangan besar bagi GPI dalam hal pelayanan, pendidikan, dan komunikasi.

Namun seperti kata Klaus Schwab (2017) dalam The Fourth Industrial Revolution, teknologi bukan hanya alat, melainkan juga lingkungan baru yang membentuk cara kita hidup, berkomunikasi dan berinteraksi. Gereja tidak boleh tinggal diam. Ia perlu memanfaatkan teknologi untuk memperluas pelayanannya, namun dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kasih, keadilan, dan solidaritas.

Artinya, menghadapi dinamika seperti itu, gereja perlu mengembangkan etika digital: bagaimana menggunakan media sosial dengan bertanggung jawab, bagaimana menghindari penyebaran hoaks, dan bagaimana tetap menjaga relasi yang bermakna di dunia maya. Pendidikan dan pembinaan iman gereja perlu menyentuh aspek-aspek ini agar umat tidak hanya cerdas secara spiritual, tapi juga cerdas secara digital.

Ketahanan Sosial Gereja: Berdiri di Tengah Kerapuhan

Dalam konteks ini, ketahanan sosial gereja bukan soal bertahan hidup semata, melainkan tentang bagaimana gereja tetap menjadi tempat membangun harapan, tempat solidaritas dipelihara, di tengah keterbatasan. Ini sangat relevan bagi GPI, yang banyak melayani di daerah yang infrastruktur dan akses sosial-ekonominya masih minim.

Sosiolog Manuel Castells (2010) dalam bukunya The Rise of the Network Society menekankan bahwa kekuatan komunitas lokal terletak pada kemampuan membangun jaringan solidaritas dan identitas kolektif. Dalam hal ini, gereja bisa menjadi penggerak pembangunan sosial, bukan dengan cara menggantikan peran negara, tapi dengan memberdayakan masyarakat dari bawah.

Program-program seperti koperasi gereja, pendidikan berbasis komunitas, pelatihan keterampilan bagi pemuda dan kelompok perempuan, bisa menjadi wujud nyata dari ketahanan sosial. Gereja yang kuat bukan gereja yang punya banyak aset, tapi gereja yang menjadi tempat berlindung dan bertumbuh bagi yang lemah, terpinggir dan tertindas.

Keberanian untuk Bertindak

Tentu saja, semua ini membutuhkan keberanian. Gereja tidak bisa hanya jadi pengamat atau pemberi komentar. Gereja harus turun tangan. Harus hadir di tengah konflik dan pertikaian, di tengah ketidakadilan, di tengah penderitaan.

Sebagaimana ditegaskan oleh Miroslav Volf (2021), dalam bukunya Public Faith in Action, bahwa iman Kristen harus terwujud dalam tindakan publik. Iman bukan hanya urusan pribadi atau ritual, tapi tentang bagaimana kita terlibat dalam dunia dengan spirit yang membangun.

Artinya, gereja harus punya sikap tegas dan jelas terhadap isu-isu seperti kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, korupsi, serta intoleransi. Gereja tidak boleh netral ketika nilai-nilai keadilan diinjak-injak. Sikap netral dalam konteks ketidakadilan adalah keberpihakan terhadap penindas.

Merawat Harapan, Menjadi Cahaya

Akhirnya, semua ini kembali pada satu hal: kesetiaan. Gereja dipanggil untuk setia kepada Kristus dan setia kepada dunia yang Tuhan ciptakan. Dua kesetiaan ini tidak bisa dipisahkan. Dalam dunia yang mudah patah, mudah marah, mudah menyerah—gereja harus menjadi penanda arah, penumbuh harapan.

Sebab "Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik (1 Tesalonika 5:21) bukan hanya slogan kosong, tapi cara hidup. Gereja harus terus menguji: apakah cara kita melayani masih relevan? Apakah suara kita masih jelas dan jernih? Apakah kita sudah menjadi rumah bagi yang rapuh dan papah? Apakah kita masih memegang yang baik, atau mulai larut dalam kompromi?

SSA GPI XX adalah momen penting untuk menjadi titik berangkat dalam melakukan refleksi dan pembaruan. Bukan hanya soal kebijakan internal, tapi soal bagaimana gereja ini akan terus menjadi pelita bagi masyarakat di wilayah-wilayah yang paling membutuhkan terang, khususnya di wilayah pelayanan GPI yang masuk kategori 3T. Ini menjadi "pekerjaan rumah" besar GPI dan GBM pasca SSA ini.

Memang, harus diakui, tantangannya besar. Tidak mudah. Tapi, peluangnya juga besar. Sebab dunia sedang mencari suara yang jernih, arah yang jelas, dan komunitas yang bisa dipercaya dan jadi pegangan. Dan tentunya, gereja bisa menjadi semua itu, jika ia mau setia pada Injil, setia pada rakyat, dan setia pada kebenaran. Disinilah GPI juga diuji!

Maka, marilah kita terus menguji segala sesuatu—dengan akal budi yang sehat, dengan hati nurani, dan dengan iman yang hidup. Lalu, peganglah yang baik. Karena yang baik itulah yang akan menyelamatkan kita semua.

Beo, 27 Juli 2025

Jeirry Sumampow (Peserta SSA GPI XX & Warga Jemaat GPIB Paulus Jakarta)


di dalam Travel
Masuk untuk meninggalkan komentar